Sejak 25 November, banjir dan longsor besar melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Ratusan ribu warga terisolasi, akses jalan dan jembatan terputus, dan jaringan komunikasi hilang total. Pada hari-hari pertama, informasi hampir sepenuhnya hilang. Banyak keluarga hanya bisa menunggu, dalam cemas dan ketidakpastian.
Karakter bencana ini bervariasi di setiap lokasi: sebagian wilayah lumpuh karena banjir besar, sebagian lain terputus karena longsor, dan ada yang menghadapi keduanya secara beruntun. Wilayah dataran tinggi dan lereng pegunungan menjadi salah satu zona paling rentan ketika hujan berkepanjangan menyebabkan tanah jenuh air dan akses logistik sulit diakses.
Di Aceh, salah satu area terdampak berat berada di kawasan dataran tinggi seperti Bener Meriah, yang juga sedang dalam perhatian publik karena peningkatan aktivitas Gunung Api Bur Ni Telong pada periode yang sama. Faktor ini bukan penyebab tunggal bencana, namun berkontribusi terhadap meningkatnya kerentanan lokal di tengah kombinasi cuaca ekstrem dan terbatasnya akses.
Kegelisahan terbesar datang dari para staf Earthqualizer (EQ) yang berasal dari Aceh, ditempatkan di Aceh, atau selama ini mendampingi masyarakat di sana. Mereka tidak sedang membaca berita. Mereka sedang memikirkan rumah, keluarga, dan orang-orang yang mereka kenal satu per satu.
Dari kegelisahan tersebut dan penilaian dampak berdasarkan citra satelit akhir November 2025, EQ mengambil keputusan organisasi: bergerak secepat mungkin, membantu sebisa mungkin, menggabungkan kekuatan data, teknologi, dan aksi lapangan.
Enam hari penuh, Agam, koordinator lapangan EQ kelahiran Takengon, kehilangan kontak dengan seluruh keluarganya. Selama enam hari penuh itu, tidak ada satu pun kabar dari dataran tinggi Gayo.
Dengan kecemasan dan rasa tanggung jawab, Agam berangkat dari Pontianak menuju Aceh. Bersyukur, sesampainya disana keluarganya dalam keadaan selamat. Selain mencari keluarganya, Agam membawa unit Starlink untuk membuka komunikasi darurat di wilayah yang lumpuh total dan membawa beberapa ton bantuan sembako melalui jalur udara bersama jaringan relawan.
Kehadirannya membantu warga yang selama berhari-hari terputus dari dunia luar untuk kembali menghubungi keluarga mereka. Ketika koneksi akhirnya aktif, 96 orang mengantre sekaligus, beberapa di antaranya menangis saat berhasil menghubungi keluarga. Karena di dalam situasi seperti ini, satu kalimat “kami selamat” bisa terasa seperti seluruh dunia kembali utuh.
Di saat rumah dan lingkungannya sendiri terdampak dan dalam kondisi darurat, Pane, staf EQ di Aceh Singkil, justru mengambil peran besar mengoordinasikan distribusi bantuan EQ ke titik banjir di Trumon. Ia memastikan beberapa ton sembako dan logistik sampai ke warga yang paling membutuhkan.
Pane membantu evakuasi, mengumpulkan informasi lapangan, dan menyampaikan kondisi riil kepada tim pemetaan EQ. Ia menjadi “mata”, “telinga,” dan “tangan” EQ di lapangan, memimpin distribusi bantuan sambil menghadapi bencana yang sama bersama keluarganya sendiri.
Relawan Medan, bersama komunitas goweser Sumut dan gema masyarakat pecinta alam yang terhubung dengan Earthqualizer, bergerak cepat membeli dan menyalurkan air bersih, kebutuhan dasar, serta beberapa ton sembako ke desa-desa Aceh Tamiang yang belum tersentuh bantuan.
Dua staf EQ: Bujang (Pontianak) dan Ucup (Bogor), secara sukarela berangkat sebagai relawan, membawa bantuan logistik serta unit Starlink tambahan untuk membuka komunikasi darurat di titik pengungsian yang terputus dari jaringan seluler. Kehadiran mereka mempercepat akses informasi bagi warga sehingga keluarga bisa saling menghubungi dan bantuan dapat dikoordinasikan lebih cepat.
Peran Lokomotif Nusantara pun tidak kalah penting. Mereka menyediakan gudang darurat untuk menampung bantuan, memfasilitasi peralatan logistik, dan menyiapkan penginapan sementara bagi tim relawan yang datang dari berbagai daerah. Melalui dukungan ini, alur distribusi menjadi lebih cepat, tim bisa beristirahat dengan aman, dan operasi bantuan berlangsung lebih terkoordinasi serta berkelanjutan.
Saat tim lapangan menembus akses yang sulit, Argo dan tim data EQ bekerja dari balik layar hampir tanpa henti. Dengan citra Sentinel-1, Sentinel-2, dan data elevasi, tim memetakan area yang paling terdampak, termasuk:
• kawasan paling parah terendam di Aceh Tamiang dan Aceh Tengah,
• desa-desa yang sepenuhnya terisolasi akibat jalan dan jembatan rusak,
• estimasi kedalaman genangan, serta
• titik-titik yang belum tersentuh bantuan sama sekali.
Peta ini menjadi dasar operasional relawan dan EQ dalam menyalurkan bantuan agar benar-benar sampai ke masyarakat yang paling membutuhkan.
Musim Mas
Sebagai mitra EQ selama lima tahun dalam pendampingan pekebun swadaya di Aceh Singkil dan Aceh Selatan, Musim Mas segera menghubungi EQ ketika bencana terjadi. Dukungan yang diberikan berupa beberapa ton sembako untuk korban dan pengungsi, bukan hanya bantuan logistik, tetapi juga wujud kepedulian dari hubungan yang dibangun dengan kepercayaan dan kedekatan selama bertahun-tahun.
TNI
Ketika akses darat terputus dan akses udara terbatas serta mahal, TNI memfasilitasi relawan EQ dalam pengiriman bantuan udara dari Medan ke Bener Meriah.
Dukungan udara ini memungkinkan distribusi bantuan mencapai desa-desa yang sepenuhnya terisolasi, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan tanpa kehadiran TNI.
Respons ini lahir dari kegelisahan staf EQ, mereka yang berasal dari Aceh, ditempatkan di Aceh, dan menyaksikan kondisi darurat secara langsung. Dari kegelisahan itu, EQ bergerak sebagai satu kesatuan, menggabungkan empati dengan data, serta teknologi dengan aksi nyata.
Bencana ini mengingatkan kita bahwa:
Data itu penting.
Teknologi itu membantu.
Namun tanpa keikhlasan untuk bergerak, semuanya tidak berarti.
Terima kasih kepada semua relawan, mitra, dan para pihak yang telah mengulurkan tangan.
Untuk masyarakat Aceh dan Sumatra yang terdampak, hati kami bersama kalian.