The challenge of maintaining designated conservation areas which do not directly generate economic benefits remains a pressing concern, as it potentially attracts parties to exploit loopholes to extract resources from these areas illegally. Rawa Singkil Wildlife Reserve, a critical habitat for endemic flora and fauna, is facing similar challenge, with ongoing deforestation threats due to illegal logging and encroachment for development of oil palm plantations.

Rawa Singkil Wildlife Reserve is one of Aceh's unique and vital ecosystems, forming part of the Leuser Ecosystem. It spans 82,188 hectares across Aceh Singkil Regency, South Aceh Regency, and Subulussalam City. The reserve is experiencing a decline in function due to rampant deforestation within and around its territory. Studies and records indicate that the reserve has lost at least 1,324 hectares of forest in the past five years alone.

The clearing of forest area is driven by several key factors, including unclear boundary demarcations, leading local communities to unknowingly encroach upon protected areas. The illegal land trade involving certain elites and financiers from within and outside Aceh also exacerbates this issue.

Earthqualizer Foundation and Wilmar organized a workshop titled "Advancing Equitable and Sustainable Management of Rawa Singkil Wildlife Reserve" on February 25, 2025 to explore ways to address these challenges. Through a traceability-based approach and stakeholder engagement, the workshop aimed to identify issues related to unsustainable oil palm plantation practices within the reserve and to mitigate and explore resolution on ongoing deforestation threats.

The workshop brought together key stakeholders responsible for conserving the Rawa Singkil Wildlife Reserve, including government representatives, civil society organizations, and local communities surrounding the reserve, including  the Regional Development Planning Agency, the National Land Agency, the Natural Resources Conservation Agency, the Indonesian Forum for the Environment (Walhi) Aceh, the Aceh Legal Aid Institute, the Sustainable Ecosystem Foundation, the Aceh Forest, Nature, and Environment Foundation, the Leuser Conservation Forum, the Aceh Indigenous Community Network, Aceh Customary Council of Aceh Singkil Regency, Aceh Customary Council of South Aceh Regency, the Warisan Anak Bangsa Farmers Group, LPHD Pulau Paya, LPHD Ladang Rimba, LPHD Gampong Krueng Batee, LPHD Gunung Kapho, the Wildlife Conservation Society, Earthworm Foundation, Rainforest Action Network, and IDH. The total number of participants in this workshop are 65 people.

This workshop provided a platform for stakeholders to propose solutions for land that has already been cultivated within Rawa Singkil Wildlife Reserve, as well as to devise mitigation strategies to prevent further deforestation and degradation. Additionally, the workshop sought to strengthen commitments among all stakeholders to actively participate in conservation efforts, compliance enforcement, and inclusive, participatory, and human-centered law enforcement, including implementing a supply chain traceability system.

Leveraging its expertise in remote sensing-based mapping and supply chain traceability, Earthqualizer Foundation conducted an analysis of areas and mills within a specified radius suspected of processing Fresh Fruit Bunches (FFB) sourced from Rawa Singkil Wildlife Reserve. The findings were presented at the workshop to educate and inform stakeholders about potential illegal activities and the associated environmental and industry risks, particularly for palm oil companies committed to sustainability standards such as NDPE (No Deforestation, No Peat, No Exploitation) and RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) certification.

The workshop participants provided insights and proposed short- and long-term solutions to address the challenges. Key concerns included overlapping land tenure claims, illegal oil palm plantations, and the issue of previously cleared land within the reserve. Proposed solutions focused on enhancing communication between the government, private sector, and local communities to ensure fair and compliant land management practices. Consequently, a Multi-Stakeholder Forum (MSF) was established in six high-risk villages identified as primary sources of deforestation in Rawa Singkil Wildlife Reserve to address these concerns.

The workshop also underscored the importance of supporting local communities, such as empowering smallholder farmers to improve productivity and providing incentives to alleviate pressure on the reserve. From an ecosystem management perspective, the need to reassess conservation block zoning and implement reforestation programs was emphasized to mitigate recurring natural disasters such as flash floods and landslides. From a corporate standpoint, it is crucial to strengthen sustainability commitments and compliance to prevent illegal palm oil from entering the supply chain.

In addition to long-term strategies, several short-term solutions were proposed, including strengthening monitoring and patrol activities to prevent further degradation, increasing policy outreach by the government, and establishing a dedicated conservation body for Rawa Singkil.

Workshop "Mendorong Perbaikan Tata Kelola Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang Berkeadilan dan Berkelanjutan" oleh Earthqualizer Foundation dan Wilmar

Tantangan dalam mempertahankan kawasan konservasi yang ditetapkan, yang tidak secara langsung menghasilkan manfaat ekonomi, tetap menjadi perhatian serius. Hal ini berpotensi menarik pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan celah hukum guna mengekstraksi sumber daya secara ilegal dari kawasan tersebut. Suaka Margasatwa Rawa Singkil, yang merupakan habitat penting bagi flora dan fauna endemik, menghadapi tantangan serupa, dengan ancaman deforestasi yang terus berlangsung akibat pembalakan liar dan perambahan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit.

Suaka Margasatwa Rawa Singkil merupakan salah satu ekosistem unik dan penting di Aceh, yang menjadi bagian dari Ekosistem Leuser. Kawasan ini mencakup 82.188 hektare yang tersebar di Kabupaten Aceh Singkil, Kabupaten Aceh Selatan, dan Kota Subulussalam. Saat ini, fungsi suaka margasatwa tersebut mengalami penurunan akibat deforestasi yang marak terjadi di dalam maupun di sekitar wilayahnya. Berdasarkan hasil studi dan catatan yang ada, kawasan ini telah kehilangan setidaknya 1.324 hektare hutan hanya dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Pembukaan kawasan hutan didorong oleh beberapa faktor utama, termasuk batas wilayah yang tidak jelas, yang menyebabkan masyarakat setempat tanpa sadar melakukan perambahan ke area yang dilindungi. Perdagangan lahan ilegal yang melibatkan sejumlah elit dan pemodal dari dalam maupun luar Aceh juga memperparah permasalahan ini.

Earthqualizer Foundation dan Wilmar menyelenggarakan lokakarya bertajuk "Mendorong Perbaikan Tata Kelola Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang Berkeadilan dan Berkelanjutan" pada tanggal 25 Februari 2025 untuk mencari solusi atas berbagai tantangan yang ada. Melalui pendekatan berbasis ketertelusuran (traceability) dan keterlibatan para pemangku kepentingan, lokakarya ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan terkait praktik perkebunan kelapa sawit yang tidak berkelanjutan di dalam kawasan suaka, serta mengupayakan langkah mitigasi dan penyelesaian terhadap ancaman deforestasi yang sedang berlangsung.

Lokakarya ini mempertemukan para pemangku kepentingan kunci yang bertanggung jawab dalam upaya pelestarian Suaka Margasatwa Rawa Singkil, termasuk perwakilan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, serta komunitas lokal yang tinggal di sekitar kawasan suaka, termasuk: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Badan Pertanahan Nasional, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Aceh, Lembaga Bantuan Hukum Aceh, Yayasan Ekosistem Lestari, Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh, Forum Konservasi Leuser, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh, Ketua Majelis Adat Aceh Kabupaten Aceh Singkil, Ketua Majelis Adat Aceh Kabupaten Aceh Selatan, Kelompok Tani Warisan Anak Bangsa, LPHD Pulau Paya, LPHD Ladang Rimba, LPHD Gampong Krueng Batee, LPHD Gunung Kapho, Wildlife Conservation Society, Earthworm Foundation, Rainforest Action Network, dan IDH. Jumlah total peserta dalam lokakarya ini adalah 65 orang.

Lokakarya ini memberikan wadah bagi para pemangku kepentingan untuk mengusulkan solusi terhadap lahan yang telah terlanjur digarap di dalam kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil, serta merumuskan strategi mitigasi guna mencegah deforestasi dan degradasi lebih lanjut. Selain itu, lokakarya ini juga bertujuan untuk memperkuat komitmen semua pihak dalam berpartisipasi aktif dalam upaya konservasi, penegakan kepatuhan, serta penerapan hukum yang inklusif, partisipatif, dan berpusat pada manusia, termasuk implementasi sistem ketertelusuran rantai pasok.

Dengan memanfaatkan keahlian dalam pemetaan berbasis penginderaan jauh dan ketertelusuran rantai pasok, Earthqualizer Foundation melakukan analisis terhadap area dan pabrik kelapa sawit dalam radius tertentu yang diduga menerima dan mengolah Tandan Buah Segar (TBS) yang bersumber dari Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Temuan ini dipaparkan dalam lokakarya untuk memberikan edukasi dan informasi kepada para pemangku kepentingan mengenai potensi aktivitas ilegal serta risiko lingkungan dan industri yang menyertainya, khususnya bagi perusahaan kelapa sawit yang telah berkomitmen terhadap standar keberlanjutan seperti NDPE (Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut, Tanpa Eksploitasi) dan sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil).

Para peserta lokakarya memberikan berbagai masukan dan mengusulkan solusi jangka pendek maupun jangka panjang untuk mengatasi tantangan yang ada. Isu-isu utama yang menjadi perhatian meliputi tumpang tindih klaim atas kepemilikan lahan, keberadaan perkebunan kelapa sawit ilegal, serta permasalahan lahan yang telah terlanjur dibuka di dalam kawasan suaka. Solusi yang diusulkan berfokus pada peningkatan komunikasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat lokal guna memastikan praktik pengelolaan lahan yang adil dan sesuai dengan ketentuan. Sebagai tindak lanjut, Forum Multipihak (FMP) dibentuk di enam desa berisiko tinggi yang diidentifikasi sebagai sumber utama deforestasi di Suaka Margasatwa Rawa Singkil untuk menangani permasalahan tersebut.

Lokakarya ini juga menekankan pentingnya mendukung masyarakat lokal, antara lain dengan memberdayakan petani kecil untuk meningkatkan produktivitas serta memberikan insentif guna mengurangi tekanan terhadap kawasan suaka. Dari perspektif pengelolaan ekosistem, dibutuhkan peninjauan kembali terhadap zonasi blok konservasi serta pelaksanaan program reforestasi untuk mengurangi dampak bencana alam yang berulang seperti banjir bandang dan tanah longsor. Sementara dari sisi korporasi, penguatan komitmen terhadap keberlanjutan dan kepatuhan menjadi hal krusial untuk mencegah masuknya kelapa sawit ilegal ke dalam rantai pasok.

Selain strategi jangka panjang, beberapa solusi jangka pendek juga diusulkan, antara lain penguatan kegiatan pemantauan dan patroli untuk mencegah degradasi lebih lanjut, peningkatan sosialisasi kebijakan oleh pemerintah, serta pembentukan lembaga khusus yang fokus pada konservasi Suaka Margasatwa Rawa Singkil.